TERIMA KASIH, HATI!

 

Terima kasih, Hati! 

Terima kasih, Hati!

Terima kasih, hati! Sudah setenang ini. Saat tidur lelapmu terbangun paksa oleh suara panik, teriakan untuk segera bangkit dan bergegas.

"Di, bangun Di, banjir!!! Banjir!!!"

Teriakan itu terdengar jelas, bersamaan dengan diri yang langsung terjaga dan refleks bangun membuka mata.

Pikiranmu masih tidak yakin kalau banjir benar bertandang. Mengingat selama tinggal disini, sederas apapun hujan mengguyur kota Medan, banjir tak pernah sekalipun datang.

Tapi secepat kilat pikiran itu terbantahkan, saat kakimu yang hendak menjejak lantai kamar, justru terlebih dahulu menyentuh air, dingin.

Masih dengan tenang, kau bangkit dan melihat ruang depan. Tampak rice cooker sudah terendam sebagian. Malam tadi memang kalian makan bersama di lantai beralaskan tikar. Sudah jadi kebiasaan membawa serta alat penanak nasi itu ke ruang depan. Bersama mangkuk berisi lauk pauk sekedarnya. Sudah jadi hal biasa pula jika seusai makan alat penanak nasi itu terbiarkan di lantai. Kadang di atas meja depan. Sekenanya kalian saja menyinggahkan. Tak akan jadi soalan di antara kalian.

Pagi buta itu pun kau tak persoalkan perihal rice cooker yang terbiarkan di lantai hingga terendam sebagian saat banjir datang. Kau cukup dengan tenang dan diam mengangkatnya lalu meletakkan ke tempat yang lebih tinggi, di atas kursi. Karena sebenarnya hal utama yang menjadi fokusmu pagi itu adalah air yang masuk dari cela-cela pintu depan. Deras menerjang, seakan memaksa pintu untuk terbuka lebar. Menimbulkan gemericik suara air yang begitu mengintimidasi.

Hati, terima kasih untuk tidak terintimidasi oleh suara deru air itu. Kau masih dengan tenangnya melangkah ke dapur untuk memeriksa kondisi disana. Dan yang kau temui sama, air begitu derasnya masuk dari cela pintu belakang.  Tapi lagi-lagi kau hanya diam memandang tanpa sedikitpun terintimidasi suara gemuruh air yang kian berisik itu. Dengan tenang kau berbalik arah menuju kamar, sambil pikiranmu liar berputar, menimbang, apa yang seharusnya dilakukan. Mana yang harus lebih dulu diselamatkan.

Dan kepanikan yang terpampang nyata di hadapanmu itu membuatmu secepat kilat memutuskan, kalian harus angkat kaki sesegera mungkin.

Ya, memang momen itu terjadi sangat cepat. Mungkin tak sampai lima menit. Bayangkan saja, kau terbangun dengan ketinggian air semata kaki. Ke ruang depan, koper paling bawah dari dua koper besar yang disusun menumpuk itu sudah terendam sedikit. Lalu kau berjalan sekitar 7 langkah untuk sampai ke dapur, sejenak menyapukan pandang ke seluruh ruangan kecil itu, kemudian kembali melangkah ke ruang depan, 7 langkah. Dan koper kedua yang berada di atas koper pertama sudah tenggelam. Secepat itu.

"Buka pintu!"
Si Bro berucap panik. Di tengah kegugupannya, ia tengah berusaha mengumpulkan apa-apa yang perlu dibawa. Dompet, ponsel, dan surat-surat berharga.

"Nanti dulu. Siapkan dulu semuanya" balasmu. Air yang masuk begitu cepat lewat berbagai cela itu jadi alasanmu untuk tak membuka pintu.

"Cepat buka pintu, biar terang!"

Ucapan Si Bro itu justru menyadarkanmu akan satu hal : kalian harus segera keluar dari rumah itu. Sebab Si Bro sudah benar-benar panik. Bagaimana bisa dia berpikiran bawa membuka pintu akan membuat lebih terang. Sedang saat itu seluruh lampu di rumah itu sudah dinyalakan. Sudah terang.

Sebegitu paniknya ia hingga tas yang jelas-jelas terlihat keberadaannya pun tak mampu ia temukan.

Hati, terimakasih sudah mengambil keputusan dengan cepat dan tepat di pagi buta itu. Beberapa menit sebelumnya kau terbangun dengan keadaan tak terduga. Di tengah-tengah usahamu membangun kesadaran di situasi yang genting itu, pikiranmu melesat cepat akan berbagai kemungkinan-kemungkinan, dan secepat kilat pula memutuskan: kalian harus segera menyelamatkan diri.

Dan ya, Tuhan Maha Baik, kalian diselamatkan. Susah payah kalian akhirnya bisa keluar dari rumah dan menjangkau tempat yang lebih tinggi. Bergabung dengan mereka yang senasib.

Tentu saja kalian sangat bersyukur akan hal ini. Meski tak dapat dipungkiri pikiran kalian masih tertinggal di rumah kontrakan. Kendaraan, perabotan, barang-barang pribadi. Semuanya. Semuanya terendam. Begitu juga barang-barang stok usahamu yang nilainya justru lebih besar dari barang-barang pribadi.

Dua lemari kayu dan banyak barang harus diikhlaskan


Ya, belakangan ini kau tengah mencoba membangun mimpi lewat jalan yang berbeda dari yang biasa kau tempuh. Kau sedang belajar berwirausaha. Si Bro bahkan sampai tak selera makan memikirkan nasib barang-barang stok usahamu itu. Tapi hati, kau sungguh luar biasa. Bukan tidak sedih, tapi kau bisa menyikapi kesedihan itu dengan sangat baik. Kau tidak larut di dalamnya. Kau memilih untuk menerima dan sepenuhnya percaya pada cara kerja semesta. Kau belajar untuk sepenuhnya berserah. Ah, ini bukan pelajaran mudah, aku tau itu.

Dalam prosesnya, ada masa-masa kau menahan pedih melihat semuanya terserak. Berlumpur. Hingga kau pun bingung, mana dulu yang harus dikerjakan. Mana yang masih bisa dibersihkan, mana yang harus direlakan.

Tumpang tindih dan berlumpur


Ada masa-masa kau amat sangat lelah hingga rasanya ingin menyerah saja. Tapi kau tidak menangis. Kau hanya menarik nafas panjang sambil terus merapal do'a agar dimampukan.

Ada saat kau merasa sendiri, merasa tak ada yang peduli. Tapi kau bisa secepat kilat menghalau pikiran itu agar pergi. Kau sepenuhnya sadar, pikiran negatif itu tak boleh menguasai diri.

Ada masa-masa kau ingin bercerita, tapi kau memilih menahan diri dan tak mengumbar cerita duka di sosial media. Kau memilih menuliskannya hari ini, empat bulan setelah semuanya berlalu. Bukan untuk mendapat simpati, tapi lebih kepada apresiasi diri karena telah melewati semuanya dengan  berani.

Hati, terima kasih telah tidak menyerah di masa-masa sulit itu. Terima kasih untuk tidak mengeluh di antara letih dan pedihmu. Ini memang kisah lalu. Tapi ketahuilah, ini pelajaran berharga untuk kita. Kelak saat harimu terasa berat, ingatlah masa-masa sulit itu, kau telah melewati dengan baik. Jadi sesulit apapun masalah yang mungkin akan menghadang di depan, percayalah kau bisa melewatinya.

Terima kasih, Hati! Meski rapuh, tapi semoga selalu jadi hati yang pantang menyerah pada peliknya hidup sekaligus tetap berserah pada Pemilik Semesta.

Terima kasih, Hati! Dariku yang sangat bersyukur memilikimu.

Medan, 01 April 2021
Mengenang kembali banjir besar di Medan, 04 Desember 2020. Semoga Raja Semesta selalu melindungi kita. Aamiin.

Share:

0 komentar