JULI, EMPAT PURNAMA SUDAH

juli empat purnama sudah
Juli, empat purnama sudah

Juli, empat purnama sudah
Sejak pertama kali langkah itu terhenti
Bukan sesaat
Tapi selamanya
Iya, selamanya
Selamanya langkah itu terhenti setelah satu windu mengarah ke titik yang sama
Belum, belum sampai, tapi sudah harus terhenti


Aku tidak mundur, tidak
Sebab pengecut bukan sifatku
Terbukti sewindu tak pernah kuubah arah
Tapi ketika rumah yang kau tuju memilih tuan yang lain
Ketika kompas yang kau acu mengarah ke titik lain
Kau punya 3 pilihan : diam di tempatmu berharap si pengkhianat sadar, terus berjalan dan menutup mata untuk semua pengkhianatan, atau balik arah tanpa perlu mendengar segala pembenaran.


Aku memilih opsi ketiga.
Cukuplah sewindu setiaku pada jalan yang ternyata keliru, angan-angan kebahagiaan yang nyatanya semu
Aku juga tak ingin terlihat begitu bodoh dengan pura-pura tak melihat lukisan impian yang tercoreng kerakusan
Jadi balik arah adalah pilihan yang kuanggap paling benar daripada harus menelan segala pembenaran si pembuat onar


Aku tidak mundur, tidak
Salah besar kalau berpikir aku tengah berantakan
Sebab setetes pun air mata tak keluar
Kaki-kaki kecil ini bahkan mantap berjalan, lebih tegak dari biasanya


Sungguh, aku bersyukur pada semesta, sebuah pil pahit yang harus kutelan bersebab pengkhianatan ini justru menjadi obat bagi hati yang kerap berselimut gunda. Aku kini tak lagi tertatih karena sebuah ketakpastian. Tak lagi enggan mengambil langkah hanya karena takut kehilangan. Sebab kau memang telah hilang dari tujuan. Dan tak lagi ada di daftar impian.


Juli, empat purnama sudah
Sungguh tak kusangka, memutuskan melepaskanmu ternyata sama artinya dengan membebaskan langkah dan hatiku.
Terima kasih, pengkhianatanmu, justru memerdekakanku.


Medan, 24 Juli 2018
Kepada kau yang pernah menjadi muara rinduku selama sewindu.


Share:

1 komentar

  1. Bahasa bagus, syairnya menyentuh, bikin hati ini luluh.

    https://sastrawacana.id/

    BalasHapus