TAKUT NIKAH DAN PASANGAN-PASANGAN YANG BIKIN SAYA IRI

pasang yang bikin iri
Takut nikah dan pasangan-pasangan yang bikin saya iri

Takut Nikah dan Pasangan-Pasangan yang Bikin Saya Iri : Selamat pagiiii…!
Masih pada terjaga kah? Atau memilih menyerah pada rasa kantuk seusai subuh tadi. Saya Alhamdulillah ini baru nulis dua baris udah nguap :D


Jarang-jarang saya nulis pagi-pagi gini. Awalnya tadi sehabis sahur dan subuh mau jogging. Tapi eh tapi temen yang diajak jogging malah tidur. Sayanya mau ikut tidur tapi lagi komitmen biasain diri nggak tidur lagi selepas subuh. Jadilah leyeh-leyeh di tempat tidur sambil pegang hape. Posting di sosmed untuk job buzzing sebuah produk.


Setelah itu ngapain?! Awalnya mau nyerah aja deh, tidur juga. Tapi keinget komitmen ikutan #NulisRandom2017 *Lihatlah bang, adek lagi belajar berkomitmen terhadap beberapa hal, kita kapan berkomitmen bang :D*


Dan akhirnya saya pun memutuskan buat buka laptop dan buku catatan. Beberapa ide tulisan ada yang belum sempat saya tuliskan. Yippi.. sepertinya pagi ini waktu yang tepat untuk mulai menuliskannya.


Takut Nikah dan Pasangan-Pasangan yang Bikin Saya Iri, itu salah satu ide postingan yang belum saya tulis. Kenapa mutusin nulis ini duluan saya juga nggak tau alasannya. Mungkin karena kemarin abis liat IG nya Payung Teduh dan nonton video single baru mereka yang bentar lagi rilis yang judulnya “Akad”hahhahaa *kaum jomblo jangan baper please* *padahal yang nulis baper*


Usia saya sekarang ini kan sudah memasuki zona “Kapan Nikah?” jadi sering banget ya dapat pertanyaan itu. Dari mulai keluarga, temen deket, sampai yang baru kenal juga nanyanya tentang nikah. Kadang-kadang pengen juga balas dengan balik nanya “Kamu kapan mati?” kira-kira dia bakal gimana ya responnya hahhahaha


Bukannya sewot sih, cuma ya kan udah tau dong kalau jodoh, rejeki, maut, itu urusan Tuhan, masak masih kepo nanya-nanya sih. Ada yang pake acara nyeramahin segala. Ada yang ngira saya ikutan paham feminis lah makanya nggak pengen nikah, ada yang bilang saya pilih-pilih lah. Macem lah.


Please deh, apa saya udah setua itu sampe pada kepo banget, 30 juga belum. Lagian nikah kan bukan perkara usia. Saya juga bukannya nggak pengen nikah. Ya pengen. Pengen banget malah. Cuma pengen bangetnya itu bukan berarti sama siapa aja mau, siapa yang ngajak ayok. Ya nggak gitu juga. Pengen bangetnya sama orang yang memang saya pengenin. Atau kalaupun saya nggak ada rasa suka, seenggaknya saya tau dia pribadi seperti apa, sreg nggak di hati, bakal nyambung nggak kalau kita hidup barengan SEUMUR HIDUP. Iya, sepanjang sisah usia. Secara saya nggak kepikiran buat nikah dua kali. Saya juga nggak mau ngebayangin jadi single mom karena cerai. Jadi ya saya nggak mau terlalu ngotot juga buat segera menikah. Fokus perbaiki diri aja, memantaskan diri untuk jodoh yang telah disiapkan Tuhan buat saya.


Apa itu artinya saya pilih-pilih? Ya kamu aja beli mangga pake pilih-pilih juga kan. Nggak mau juga kan dapet mangga yang busuk. Masak iya urusan teman hidup kamu langsung oke padahal hati kamu belum sreg. Atau seandainya pun nggak niat nolak, kan wajar toh kalau butuh waktu buat mikir, meyakinkan hati sendiri. Bukan artinya jual mahal kan.


Wadaaw… ini kenapa saya malah nyerocos nggak jelas, maafkeun sodara-sodara, saya terbawa suasana :D


Jujur saya pernah nggak tertarik sama yang namanya pernikahan. Penyebabnya mungkin karena sering melihat kasus-kasus perceraian di sekeliling saya. Sementara saya sudah terlanjur terdoktrin novel-novel dan film-film romantis bahwa pernikahan itu saling setia dan bahagia selamanya, happy ending deh pokoknya. Tapi di kehidupan nyata yang saya lihat malah banyak yang sad ending. Di tambah lagi saya sering dijadiin tempat curhat temen-temen tentang pernikahannya yang nggak seindah khayalan. Saya mendapati orang-orang yang terlihat tidak menjadi dirinya sendiri ketika menikah. Suami-istri yang sama-sama memakai topeng. Orang-orang yang tertekan karena pernikahan. Semua itu membawa efek prustasi dan traumatis tersendiri buat saya. Saya kecewa, ternyata pernikahan tak seindah dongeng yang pernah saya baca. Saya jadi orang yang sinis pada pernikahan.


Untungnya hal itu nggak berlangsung lama, karena pada suatu momen saya ketemu laki-laki yang membuat saya justru pengen banget nikah sama dia *eaaaak* yaaa.. walaupun sampe sekarang kami juga belum nikah-nikah  dan nggak tau ke depan bakal nikah sama dia apa nggak. Jodoh siapa yang tau ya kan. Tapi saya bersyukur dipertemukan dengannya. Seenggaknya karena dia saya jadi nggak sinis lagi sama pernikahan.


Selain pria yang tidak ingin saya sebutkan namanya itu. Saya juga melihat pasangan-pasangan suami istri yang membuat saya iri dengan keharmonisan rumah tangga mereka. Melihat mereka, saya jadi kembali sadar bahwa pernikahan itu nggak seseram yang pernah saya bayangkan. Bahwa pernikahan memang nggak selamanya seindah cerita dongeng, ada pait-paitnya, tapi manisnya juga banyak *bang..bang… adek siap menjalani pahit manis kehidupan sama abang*


Oke, baiklah saudara-saudara, inilah pasangan-pasangan yang bikin saya iri dan kepengen nikah *sama abang itu*.


Ayah Ibu
Namanya anak, yang pertama dilihat pasti kehidupan pernikahan kedua orang tuanya. Saya dari dulu emang udah kagum ama pasangan ini. Bukan karena mereka orang tua saya. Tapi karena saya melihat langsung bagaimana mereka menjalani biduk rumah tangga.


Waktu awal-awal nikah, ayah dan ibu saya tinggalnya berpindah-pindah. Merantau mencari rejeki halal. Ayah saya punya warisan dari almarhum kedua orang tuanya. Tapi karena suatu hal, ia memutuskan tak mengambil sepeserpun warisan tersebut. Kakek nenek dari ibu saya punya tanah yang diurus oleh anak-anaknya. Menjadi sumber penghasilan untuk keluarga anak-anaknya. Tapi ibu tidak meminta jatah warisannya. Ayah pun tak menginginkan hal tersebut. Ibu saya memilih bersama ayah berjuang bareng-bareng. Merantau dari satu tempat ke tempat lain. Tak heran kalau abang-abang saya lahirnya di daerah yang berbeda-beda. Ayah saya pun pandai berbagai bahasa daerah. Ibu, jangan ditanya, ia lihai sekali bahasa Karo. Ia juga gemar menortor (tarian khas Batak) kalau ada acara-acara dengan musik batak. Padahal ibu jawa tulen.


Saya iri dengan kemandirian dan perjuangan mereka. Dengan prinsip ayah yang mempertahankan harga dirinya sebagai lelaki dengan tidak menafkahi anak istri dari ladang mertua. Saya iri dengan perjuangannya menanggungjawabi keluarga. Saya iri dengan ibu yang mau bersusah-susah bareng ayah.


Ada banyak hal yang membuat saya iri dengan ayah ibu saya selain kemandirian mereka. Ayah saya itu sikapnya ngemong. Punya jiwa pemimpin. Pandai berorganisasi meski tinggal di kampung dan tak makan sekolahan. Ia pernah jadi ‘kepala suku’ dalam usaha pembebasan lahan yang diklaim pihak perkebunan. Ikut aksi demo saat protes ke perkebunan. Alhamdulillah lahan-lahan itu pun dikembalikan ke masyarakat meski tak seluruhnya.


Alhamdulillahnya lagi, agamanya juga oke menurut saya. Ayah dulu pernah jadi pegawai KUA, guru ngaji, dan penceramah. Dalam pergaulan di masyarakat, ia disegani. Tapi di rumah, ia tak segan-segan menurunkan gengsinya sebagai lelaki untuk menyenangkan ibu.

father
alm. Ayah. Laki-laki keren, cinta pertama saya :)

Waktu abang-abang saya masuk usia sekolah dan saya masih kecil. Ayah pagi-pagi buta mengayu sepeda ke kota untuk belanja kebutuhan harian. Membawa saya serta. Sementara ibu di rumah menyiapkan makanan dan keperluan sekolah abang-abang saya.


Ada cerita lucu disini. Saking seringnya saya diajak ayah belanja ke pasar. Ada ibu-ibu yang terenyuh melihat kami. Ia sampai meminta izin untuk mengangkat saya sebagai anaknya dan merawat saya. Ibu itu mengira ibu saya meninggal dan ayah merawat saya sendirian. Sementara saya masih sangat kecil. Saya masih suka tertawa sekaligus haru kalau ibu bercerita tentang hal ini.


Ayah mau membantu pekerjaan ibu mengurus rumah. Belanja kebutuhan sehari-hari, bahkan belanja *maaf*pakaian dalam ibu. Sebagai kepala rumah tangga dan orang organisasi, ayah bisa tegas  dan pengambil keputusan yang cermat. Namun sebagai lelaki dan suami yang ingin membahagiakan istrinya, ia tak segan membuang gengsi dan egonya. Menurut saya ayah saya itu laki-laki keren, nggak banyak laki-laki seperti itu. Kebanyakan mah jangankan belanja kebutuhan istri, belanja kebutuhan keluarga yang notabene kebutuhan bersama aja ogah. Gengsi dong, masak laki-laki belanja, palingan gitu jawabnya.


Ibu saya juga keren. Walau suaminya mau bantuin pekerjaan rumah, tapi ibu tak serta merta semena-mena terhadap ayah. Ibu tetap menghargai ayah sebagai kepala rumah tangga. Ayah tetap pengambil keputusan untuk urusan-urusan keluarga, tentunya ibu bertindak sebagai penasehat. Soalnya saya sering mendengarkan mereka berdiskusi. Ayah dengan senang hati mendengarkan pendapat ibu, ibu pun dengan senang hati pula menghargai keputusan yang diambil ayah. Ibu juga mau bantuin ayah cari nafkah. Mereka pasangan yang mampu bekerjasama dengan baik untuk keberlangsungan dan keharmonisan keluarga. Seingat saya, saya nggak pernah melihat ibu sama ayah berantem, apalagi main fisik. Ayah nggak pernah ngebentak kami anak-anaknya. Dia laki-laki berjiwa pemimpin dan berhati lembut. Lha wong menyembeli ayam aja ayah nggak pernah mau. Katanya nggak tega.


Sejak ayah meninggal, ibu saya jadi lebih melankolis. Ia gampang tersentuh dan menangis. Padahal dulu tangguhnya minta ampun. Seumur-umur, sebelum ayah meninggal, saya cuma pernah melihat ibu menangis sekali. Waktu ayah dioperasi dan ngomongnya ngelantur karena efek operasi. Padahal ayah sakit-sakitan cukup lama, bertahun-tahun. Tapi ibu nggak pernah saya lihat menangis. Dia tetap bisa tertawa walau saya tau hatinya pasti sedih. Sesulit-sulitnya masalah di keluarga kami, saya nggak pernah liat ibu menangis selain momen ayah dioperasi itu. Cuma sekali itu.


Kedua kalinya saya lihat ibu menangis adalah saat ayah pergi. Sejak itu, ia jadi gampang nangis. Iya, ibu mungkin tak sekuat dulu saat ayah masih ada. Tapi karena itu saya iri sama mereka. Dari situ saya melihat bahwa mereka adalah satu jiwa dalam dua raga. Saat yang satu tak ada di sisi, yang satunya merasa separuh jiwanya pergi. Bukankah ini kisah cinta yang manis dan diimpi-impikan banyak orang. *Ya Allah, semoga kelak Engkau menyatukan kembali ayah dan ibu hamba di surga. Mereka sudah menjadi orang tua yang begitu baik bagi saya. Terima kasih sudah menjadikan saya anak mereka.*


Bagian ini kalau dilanjutin bakal panjang banget hahahhaha. Intinya saya iri dengan pasangan ini. Sampai sekarang saya masih suka mikir, ntar bakalan dapat jodoh sekeren ayah saya nggak ya. Trus saya bisa sekeren ibu nggak ya hahahahha…



Melly Goeslaw dan Anto Hoed
Saya iri dengan pasangan ini. walau saya nggak tau gimana kehidupan mereka sebenarnya. Tapi yang terlihat adalah mereka pasangan yang kece. Pasangan yang saling melengkapi dan nggak membatasi salah satunya berkreasi. Mereka berkolaborasi dengan apik, namun tetap jadi diri masing-masing.


Saya nilai itu darimana? Dari gaya keduanya. Lihat deh gaya teh Melly, dari jaman belum berhijab sampe sekarang berhijab, gaya pakaian, aksesoris, model rambut, sampai riasan, saya sering nggak nyangka. Menurut saya aneh, dan yaaah liat sendiri deh. Tapi disitu justru saya melihat itulah Melly Goeslaw. Saya melihat ada kebebasan berekspresi dan tentunya jadi diri sendiri disana. Dan saya suka itu. Pastinya aa’ Anto Hoed kelihatan oke-oke aja dengan pilihan bergaya istrinya.

anto hoed
Teh Melly Goeslaw dan Aa' Anto Hoed (foto : kapanlagi[dot]com)

Hal lain yang buat saya iri ama mereka adalah, mereka bisa berkarya bersama. Saling melengkapi. Sama-sama di band Potret. Teh Melly nyiptain lagu dan nyanyi, suaminya yang aransemen musiknya. Duuuh… asik bener bisa begitu, bikin iri aja ah.



Endah & Rhesa
Sama seperti teh Melly dan aa’ Anto, Endah & Rhesa juga berprofesi sebagai musisi. Bedanya Endah & Rhesa lebih ke musik indie. Mereka berdua adalah suami istri sekaligus personil duo Endah & Rhesa.

pasangan yang bikin iri
Dooh..doooh... asik bener yaak bisa berkarya bareng gini (foto : jawapos[dot]com)

Saya nggak hafal lagu-lagu mereka. Nonton perform mereka juga cuma sekali. Tapi udah cukuplah buat saya ngiri ama mereka. Bayangin aja, mereka berkarya bersama, tampil bersama, saling melengkapi, saling support, so sweet banget nggak sih. Manggung bareng bisa sambil nyandar-nyandar manjah, bisa ngelap keringat pasangan pas lagi gerah, ngerasain pait manisnya berkarya dan menghibur penonton di panggung. Sekali doang liat mereka manggung, sukses buat saya ngayal bisa kolaborasi nulis sama abang itu hahhahaha *yok bang yok, kita bukukan puisi-puisi lebay kita itu. Atau seenggaknya kolaborasi di buku nikah pun jadi lah :D*



Kak Mollyta & Bang Armand
Kalau kakak n abang ini sukses buat saya ngarep punya pasangan yang hobby traveling, biar bisa janjalan bareng gituh. Kak Molly ini blogger heitsnya kota Medan (mollyta.com). Blognya banyak berisi tentang catatan perjalan si kakak dan abang. Apalagi bang Armand jago fotografi, yowes lah klop banget. Selain bisa dapet foto-foto kece sekelas fotografer buat dipajang di blog, juga jadi berasa punya fotografer pribadi yang siap moto kita kemana pun perginya.

pasangan yang bikin iri
Bang Arman dan kak Molly yang selalu kompak (foto: dok. kak Molly)

Asiknya lagi, mereka adalah pasangan yang saling mendukung. Membebaskan pasangan melakukan hobinya masing-masing, asal tetap perhatian satu sama lain tentunya.



Mbak Pungky & Suami
Mbak Pungky ini blogger juga. Suaminya juga blogger. Saya ngiri ama mereka waktu baca tulisan suaminya yang cerita ke anaknya tentang ibunya yang lagi pergi jalan-jalan. Bukan di point jalan-jalannya sih yang bikin saya ngiri. Tapi bagaimana ia memahami istrinya. Bagaimana ia sadar bahwa tujuan keluarga adalah kebahagiaan seluruh anggota keluarga.


Waktu mbak Pungky keluar kota, jalan-jalan. Mas suami di rumah ngurus anak. Dia bebasin istrinya pergi karena sadar bahwa bepergian adalah salah satu hal yang buat istrinya bahagia. Jarang-jarang loh nemu mas suami yang nyadar kalau istri itu punya hak untuk bahagia dengan caranya dia sendiri.

srikandi blogger 2014
Mbak Pungky, dengan dukungan suami dan keluarga, terus bisa berkarya dan bahagia setelah menikah. (foto : kompasiana[dot]com)

Dan kebetulan aja mbak Pungky nya hobi janjalan, yowes mas suami ikhlas seiklhas-ikhlasnya ngurus anak pas istrinya ngetrip. Toh itu anak juga memang anak dia kan. Nggak salah toh kalo si ibu lagi pergi si anak diurus bapaknya. Toh waktu si bapak pergi, si anak juga diurus ibunya.


Saya seneng aja dengan cara pandang mereka. Sekarang kan masih jaman tuh pemikiran kalau perempuan yang udah menikah itu ya di rumah aja. Ngurus rumah, anak, suami. Sampe banyak yang lupa ngurus diri sendiri. Sampe lupa ngebahagiain diri sendiri.


Sering juga kalau anak bermasalah yang disalain ibunya. Helaaauuu… itu anak bukan cuma anak ibunya. Anak bapaknya juga. Kenapa juga ibu yang disalahkan. Giliran si anak bermasalah aja ibu disalahkan. Giliran si ibu stress ngurus semua kok pada diam. Mirisnya lagi yang nyalahin si ibu ini seringnya dari keluarga dekat. Entah itu suaminya sendiri, ibunya sendiri, ibu mertuanya sendiri, atau tetangganya sendiri.


*bang.. o.. bang, nanti kalau kita nikah kira-kira abang mau nggak ya bilang gini : dek, ini tiket pesawat dan hotelnya. Uang sakunya udah abang transfer. Sana traveling sepuasnya. Anak-anak biar abang yang jaga*


*Atau seenggaknya bilang gini : Dek, mumpung anak-anak libur sekolah. Abang udah ambil cuti, minggu depan kita ke Raja Ampat ya*

Ya oloooh,,, puasa-puasa ngayal beginian dosa nggak ya. Maafkeun!



Bapak Ibu Kos di Belakang UNS
Saya nggak tau siapa namanya. Saya udah lupa seperti apa wajahnya. Jalan menuju rumahnya pun saya tak ingat. Yang saya ingat rumahnya di sekitaran UNS (Universitas Sebelas Maret) Solo. Soalnya saya memang rada susah nginget jalan kalau masih sekali dua kali datang.


Lalu kenapa saya sampai ngiri dengan bapak ibu kos ini?! Iya, saya terkesan dengan kebaikan dan kehangatan pasangan yang tak lagi muda itu. Ceritanya udah lama banget. Tahun 2011. Waktu itu saya dan 3 teman saya ngetrip ke Solo. Bareng teman-teman Persma di UNS kami naik ke Merapi via Selo. Rencananya pulangnya langsung ke Jogja, nggak singgah ke Solo lagi. Tapi rencana tinggal rencana, kaki salah satu teman saya kejatuhan batu saat hampir mencapai puncak Merapi.


Lukanya lumayan parah *bahkan sampai operasi kecil di Surabaya*. Karena tak memungkinkan, kami memutuskan nginap beberapa malam lagi di Solo. Tapi karena waktu itu liburan kuliah, jadi banyak anak kos yang udah pulang kampung.

takut nikah
Kenangan foto bareng kawan-kawan dari UNS

Kami sampai di Solo malam hari. Untungnya teman-teman dari UN ini baik-baik banget. Mereka nyariin tumpangan tidur. Jadilah kami numpang di kos-kosannya bapak ibu ini. Awalnya saya kira itu kosannya teman kami. Rupanya bukan. Jadi teman kami itu punya teman. Nah temannya itu dulu kos di tempat ibu bapak ini. Teman kami sering datang kesini jadi kenal sama bapak ibu kos.


Kami disediakan satu kamar untuk menginap. Berlantaikan semen beralaskan tikar dan dinding setengah batu *seingat saya*. Saya lupa berapa hari menginap disini. Yang saya ingat, saya sempat nyuci dan jemur underwear saya sampe kering.


Pagi hari, saat saya hendak ke kamar mandi dan melewati dapur, saya melihat bapak ibu kos dan kedua anak gadis mereka tengah asik di dapur. Bercerita sambil ketawa cekikikan. Sepertinya seru sekali. Si ibu asik duduk santai. Si bapak mencuci piring. Sedang dua anaknya tengah mengiris bumbu dan sayuran. Saya pun nimbrung untuk berbasa-basi.


Disinilah awal saya terkesan dengan pasangan ini. Rupa-rupanya ada alasannya kenapa si ibu cuma duduk-duduk santai sementara suami dan anaknya sibuk menyiapkan makanan. Keluarga kecil sederhana ini punya cara unik sendiri untuk memanjakan istri dan ibu mereka, the queen in their family. Khusus weekend, si ibu nggak boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Dia jadi ratu yang dilayani segala keperluannya. Bebas mau leyeh-leyeh nonton tv, maskeran, dipijetin, atau ya ngerumpi dengan keluarga, tapi nggak boleh ngerjain pekerjaan rumah. Semuanya dikerjakan oleh bapak kos dan anak-anaknya. Masak, nyuci, ngepel, belanja, pokoknya semua pekerjaan rumah. Itu adalah salah satu cara bapak kos dan anak-anaknya menunjukkan rasa cinta mereka ke ibu kos.
Sungguh luar biasa saya terkesan dengan keluarga ini. Saat itu saya ngarep salah satu anaknya adalah laki-laki hingga saya bisa menawarkan diri jadi menantu huahahaaa. Pasti akan menyenangkan menjadi bagian dari keluarga mereka. Tapi jelas-jelas anaknya perempuan, jadi pupuslah harapan saya :D


Hari itu, mereka menawarkan kami makan bersama. Tapi kami malu-malu. Takut membebani juga. Sukur udah dikasih tumpangan, eh malah makan segala, kan nggak enak hati kitanya. Jadi kami di kamar saja. Nggak disangka-sangka dua anak gadis bapak ibu kos tersebut nganterin kami makanan, menu-menu yang barusan mereka olah. Di tambah teh manis hangat pula.


Saat kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, kami berniat menyalamkan uang penginapan kami. Si ibu nolak-nolak bener. Saya lihat justru matanya berkaca-kaca sambil berkali-kali minta maaf nggak bisa bantu banyak, cuma bisa nyediain tumpangan tidur, itu pun seadanya. Ia berpesan agar kami berhatu-hati selama perjalanan. Katanya, ia sedih melihat kaki teman kami luka. Ya Allah, kami bukan siapa-siapa mereka, kenal pun tidak, tapi mereka membantu dengan tulus. Mata saya ikut berkaca-kaca, terharu.


*Pak, Bu, Mbak,,, apa kabar kalian?! Semoga selalu sehat dan bahagia menyertai ya. Doakan saya kelak bisa memiliki keluarga sehangat kalian ya*



Maruli Damanik & Hepiana Surbakti
Maruli Damanik ini pak bos saya waktu kerja di Lovely Magazine. Beliau adalah owner dari PT. Lovely Holidays Tour & Travel.


Dulu kalau ada urusan ke luar kota bareng Robby n pak bos, beliau so pasti ngajak istrinya. Ini nih yang bikin saya ngiri. Pasangan ini kemana-mana selalu bareng. Pak bos selalu ngajak istrinya kemana dia pergi. Entah itu urusan bisnis atau urusan keluarga. Sering kami rapat internal sampai larut malam. Si ibu tetap setia menemani. Dan kerennya lagi kalau misalnya pergi nemuin klien, si ibu nggak ikut campur. Dia paling duduk diem aja sambil sesekali mainin hape. Nggak ikut-ikutan nyela pembicaraan atau ngintervensi pak suami.

takut nikah dan pasangan yang bikin iri
Tips sukses ala pak bos : niatkan buat bahagiakan keluarga, jangan macem-macem

Dia cukup mendampingi. Palingan ntar di mobil (dan di rumah mungkin) pak bos bakal ngajak si ibu diskusi tentang pertemuan dengan klien tadi. Dan si ibu bakal bertindak layaknya penasehat presiden, memberi saran dan pandangan terbaiknya. Di part diskusi ini mirip-miriplah dengan ibu dan alm. Ayah saya.


Meski sudah tak muda lagi, meski anak-anaknya sudah besar, pasangan ini masih tetap hangat dan harmonis. Pak bos selalu bilang, kunci suksesnya cuma satu, niatin buat ngebahagiain keluarga. Nggak usah macem-macem.


Saya selalu suka melihat kedekatan mereka. Langgeng terus hingga maut memisahkan ya pak, bu.




Saya ngerti, walau pasangan-pasangan tersebut terlihat bahagia, pasti ada pahit getir yang harus dikecap. Ada air mata yang pernah tumpah. Kadang muncul bosan, kadang kesal, marah, dan mungkin benci.  Pernikahan bahagia memang tak serta merta tercipta, ada banyak ujian yang harus dilalui. Ada yang memilih menyerah dan berpisah. Ada yang tetap bertahan meski pasti tak gampang.


Yaps, ini tulisan kenapa jadi panjang banget gini. Udahan dulu ya cerita saya tentang Takut Nikah dan Pasangan-Pasangan yang Bikin Saya Iri. Doakan ntar saya dan pasangan bisa sekeren pasangan-pasangan di atas ya. Laen waktu saya tuliskan lagi cerita lainnya.


Ada yang pernah ngalamin takut nikah?! Atau ada yang pernah iri sama pasangan tertentu? Ceritain dong.

Share:

24 komentar

  1. Saya pwrnah takut nikah karena ada trauma orang terdekat tapi alhamdulillah sekarang saya udah nikah. Setuju ama Endah n ressa karena punya passion yang saya sukses juga sama heheu

    BalasHapus
  2. Keren ayahnya mba laki laki tangguh sekaligus sayang istri. Susah cari yang begitu jaman sekarang loh

    BalasHapus
  3. Wajar sih bila seseorang merasa ketakutan akan sebuah pernikahan. Terlebih bila melihat fenomena-fenomena kawin cerai di sekitar kita. Untuk mengatasinya, kembalikan semua kepada Allah. Insya Allah, pernikahan ketika telah dijalani tidak seseram yang dibayangkan kok. So, mari menikah. *eh

    BalasHapus
  4. Aku dulu mikir enggak akan pernah nikah. Tapi tahu-tahu malah nikah muda. Kalau ditanya kenapa, aku ngerasanya cuma karena ngalir gitu aja.
    Hidup mah enggak bisa diprediksi. Ikutin aja gimana nanti arahnya. Rasa takut pasti ada, rasa ragu apalagi.

    BalasHapus
  5. pasangan2 harmonis semua ya mba kliatanya bener-bener saling melengkapi.. alhamdulillah di qodar dapet suami yang super pengertian juga, punya prinsip berkeluarga itu intinya kerjasama, sama-sama saling melengkapi dan sama-sama saling membahagiakan hehe

    BalasHapus
  6. Dulu saya juga takut nikah karna banyak ketemu single mom korban perceraian.

    Sehingga saya selalu mengulur waktu saat diajak nikah pacar.Tapi doi nungguin dengan setia akhirnya nikah luluh juga deh. :)

    BalasHapus
  7. Sedikit mengingatkan, lebaran sebentar lagi. Dan waktu bersilaturahmi semakin mendekati waktu terjadi, saran saya sih siapkan kesabaran ekstra haha

    Di umur-umur segini emang rawan sensi oas ditanya seputar kapan nikah

    BalasHapus
  8. Saya dari dl sebenarnya gak takut untuk menikah mba.. tapi kalau lihat dompet dan tabungan trus jadi minder ha-ha-ha..

    Tapi untungnya niat saya menikah sebelum umur 30 tahun tercapai juga mba..

    Good luck mba menghadapi pertanyaan kapan nikah sebentar lagi 😀

    BalasHapus
  9. In syaa Allah Diah mendapat pasangan sehidup-sesyurga.
    Aamiin.

    Beneerr.
    kalau lihat pernikahan yang bahagia itu...rasanya pingin ((banyak-banyakin)) berdoa buat dipercepat ketemu dengan sang kekasih hati.

    Tapi mundur cantik kalo lihat inpotainment yang artisnya pada kawin-cerai.

    Intinya mah...
    pernikahan adalah bagian dari menyempurnakan dien.
    Semoga senantiasa diniatkan untuk menambah ketaatan kita padaNya.

    BalasHapus
  10. Kalo takut menikah, ingat saja kalo menikah itu sunah rosul... Niatkan saja karena Allah.

    BalasHapus
  11. Betul seperti yang mbak Diah bilang, jodoh, rezeki dan kematian itu udah ada ketentuannya.
    Semoga mbak Diah diberikan jodoh yang tepat di waktu yang paling tepat.
    Semangat, ya, Mbak. Semua pasangan ada kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kalau di luar kita lihat mereka bahagia, belum tentu di dalamnya.
    Yang terpenting dalam menjaga hubungan itu adalah komunikasi. Komunikasi baik, semua berjalan dengan baik.

    BalasHapus
  12. Wahh sabar yah, usia hampir tiga puluh emang syaray akan pertanyaan itu..
    Intinya adalah semoga nanti mendapat jodoh keren dan mengerti kita seperti mereka yang kamuniriin di atas. Aminnn
    Orang tua memang relation goal kita, nggak sih

    BalasHapus
  13. Ini postingan panjang banget dan sialnya saya baca sampe abis. Dan kita kok kayaknys senasib yaaaa. Hahahaha. Aku juga nungguin single menuju akad. Tapi ternyata liriknya g sesuau dg ekspektasiku. Fiuh

    BalasHapus
  14. Wah mbak, pernah ke UNS juga ya? Kosan mana tuh mbak? Di depan UNS apa belakang? Kalo dilihat dari fotonya keknya sebelum tahun 2012an ya?

    BalasHapus
  15. Bagi pria takut menikah itu takut tidak bisa memberi nafkah untuk pasangan hehe.

    Jangan buru buru nikah kak jalanin yang ada dulu aja supaya nantinya kedepannya bisa nyaman dan langgeng hubungan pernikahannya

    BalasHapus
  16. Aku tuh jg udah seting ditanyain knapa gak nikah2. Emang dikira nikah segampang dia aja!

    Well dg pasangan2 yg bikin iri, mereka bneran dpt teman hidup, teman berbagi, teman duka. Kalau yg satu pergi jd tdk sempurna

    BalasHapus
  17. Takut nikah sih tidak, tp mgkn kalau saya msh egois, kalau nikah blm tentu adem ayem

    BalasHapus
  18. Saya tidak pacaran sama suami, kami taaruf. Dan org org yg melihat kami selalu bilang kalau kami terlihat bahagia. Xixixi aku jg usia 25 blm mau menilah (tadinya) tp di usia 27 malah menikah tanpa pacaran, yg mana di keluarga kami itu blm pernah terjadi heeheheh

    BalasHapus
  19. Santai aja, mbak. Jangan takut menikah. Setelah menikah kita akan ditantang dengan ujian yang sudah ditata Allah untuk mampu kita lewati. Masalah bahagia atau tidak, itu urusan kita dan suami. Gimana pembawaan kita menjadi istri dan ingin tetap eksis setelah menikah, bisa dibicarakan dengan suami. Suami yang baik tidak akan mengekang kaki istrinya, tapi juga tidak membiarkan mereka lepas begitu saja tanpa 'pengontrolan' sedikitpun. Setelah menikah, kita akan yakin dengan kata 'saling percaya', karena rasa itu terpupuk pelan-pelan jika saling jujur sejak awal menikah.

    Pesan saya, jangan takut menikah. iri itu boleh, tapi jangan karena iri bikin kita mundur untuk menikah karena takut pasangan kita TAK SEHEBAT PASANGAN YANG KITA IRIKAN itu. Berkacalah dan raih kebahagiaan kita sendiri-sendiri..

    dengan mengharap ridho Allah SWT saja tentunya.

    Salam sayang,

    dari temanmu yang sudah menikah duluan :*

    BalasHapus
  20. enggak pernah takut. Kalo takut, enggak bakal lahir Luna deh.. hehe. Dan enggak iri juga, karena tiap pasangan, punya kelebihannya masing2.

    BalasHapus
  21. Menikah itu perkara pribadi. Kalau ada yang tanya kapan nikah, selow aja. Saya juga dulu gitu. Diam-diam, tahu-tahu nikah. Dan sekarang walaupun jauh dari sempurna setidaknya kami saling membahagiakan satu sama lain. Ahzek. Semoga disegerakan halalnya ya.

    BalasHapus
  22. Saya agak beda sih kalau masalah pandangan menikah. Harus yang bener bener tepat pilihannya. Ngga bol3h meleset sedikitpun hehehe

    BalasHapus
  23. Walah.. baru ngeh ternyata ada wajahku n bang Arman muncul di postingan ini! Hahaha :D. Aku termasuk orang yang ga takut nikah (dulu). Karena fase itu suka ga suka bakal dijalani juga . Dulu cuma sempet khawatir punya pasangan yang ga seirama, tapi ternyata aku malah dapet jodoh yang memang pas. Kurang lebihnya sebagai manusia ya maklumi aja.. hihi.

    mollyta.com

    BalasHapus
  24. Sampai sekarang saya masih takut bgt tentang nikah..banyak gagal menjalin hubungan dekat dgn pria jadi kepikiran takut hehehe. Padahal dulu sangat positif tentang pemikiran akan pernikahan. Sekarang doanya yg terbaik aja meski nanti ga nikah yang penting tetep bisa menjalani hidup dgn bahagia

    BalasHapus