ORANG KAMPUNG NGAPAIN KULIAH?!


ayo ke bank sumut
Orang kampung ngapain kuliah?!

Orang Kampung Ngapain Kuliah?! - Kuliah. Hal tersebut mungkin terdengar biasa saja saat ini, apalagi bagi masyarakat perkotaan. Tapi beberapa tahun yang lalu, kuliah adalah kata yang sangat asing bagi orang-orang di kampung Ega. Jangankan kuliah, umumnya anak-anak di kampung Ega hanya lulusan SMP. Setelah SMP, pilihannya ya nganggur bagi yang malas, dan membantu orang tua bagi yang rajin. Yang laki-laki biasanya ke ladang. Dan yang perempuan kebanyakan hijrah ke kota. Bukan menempuh pendidikan, melainkan menjadi pembantu di rumah-rumah orang kaya di kota. Selain dua pilihan tersebut ada satu pilihan lagi; menikah. Ya, zaman Ega remaja di kampung mereka sedang ngetren menikah muda *seorang temannya bahkan sudah dilamar saat ia belum lulus SMP*

Setelah SMP, Ega melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Saat itu ada 6 orang anak dari kampungnya yang melanjutkan ke jenjang SMA. Tiga tahun kemudian, dari enam orang tersebut hanya menyisahkan tiga orang yang melanjutkan pendidikan; dua orang di jenjang S1, satu orang D1. Ega salah satu dari tiga orang itu.

Kampung mereka geger. Keputusan mereka untuk kuliah menjadi bahan perbincangan orang sekampung. Pasalnya menurut orang sekampung baru Ega dan teman-temannya lah anak kampung tersebut yang sok-sok’an mau kuliah. Tak tanggung-tanggung, kuliahnya pun di kota provinsi. Kota yang sebagian besar penduduk di kampung mereka belum pernah menjejakinya. Kota yang kondisinya hanya mereka dengar dari cerita anak-anak mereka yang jadi pembantu disana.

Bukannya bangga, niat ingin kuliah ini justru jadi bahan cibiran.

“Orang kampung aja lagak mau kuliah.”

“Ngapain kuliah segala, ujung-ujungnya juga ke dapur.”

“Perasaan orang kaya!”

Orangtua Ega, khususnya alm. Ayah, sejujurnya juga sedikit keberatan Ega kuliah. Bukan karena tak suka, melainkan karena ia takut Ega susah di perantauan karena perekonomian yang minim.

Sebelumnya perekonomian mereka tergolong lumayan. Ayah bekerja di salah satu perusahaan yang berpusat di Medan, dipercaya sebagai kepala cabang di Rantau Prapat. Sebelumnya Ega bahkan bercita-cita kuliah di Jogja dan ayah pun mengiyakan. Namun apalah daya, sejak Ega SD ayahnya mengidap penyakit komplikasi. Puncaknya saat Ega kelas 3 SMK. Ayahnya memilih mengundurkan diri karena sudah berbulan-bulan hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Saat ayah Ega memutuskan tidak bekerja lagi, perekonomian keluarga mereka seketika anjlok. Mungkin karena selama ini mereka hanya bertumpu ke ayah, jadi ketika beliau berhenti bekerja, pemasukan pun terhenti. Masa-masa itu Ega sungguh takut setakut-takutnya. Ega takut membayangkan hari esok. Takut tidak bisa beli baju di toko lagi. Takut tidak bisa jalan-jalan sekeluarga lagi. Bahkan ia takut tidak bisa makan rutin tiga kali sehari seperti biasanya. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah gadis itu alami.

Setelah berhenti bekerja, keluarga Ega kembali ke kampung mereka di pedalaman Asahan. Sebuah kampung berjarak  sekitar satu jam dari Kisaran yang kondisi jalanannya berbukit dengan tanah berlubang di sana sini.

Rumah mereka di kampung hanya berdinding papan dan atap seng yang sudah berkarat.

Ega menjalani masa setahun terakhir di sekolah dengan kalut. Sering terpikirkan kehidupan ke depan. Ayah yang sakit-sakitan dan butuh dana untuk berobat, dan ibu yang… ah iya, ibu! Untungnya Ega punya ibu yang luar biasa. Sejak ayah jatuh sakit, meski awalnya bingung, ibu maju dengan sigapnya, menawarkan bahunya untuk menanggung beban yang selama ini dipikul ayah. Ia yang biasanya hanya menemani ayah bertugas, kini menjadi garda depan di keluarga Ega. Sambil mengurus ayah, ibunya membuka usaha kecil-kecilan. Berjualan apa saja yang bisa dijual dan halal. Seperti tak punya rasa lelah. Pun tak pernah terlihat mengeluh.

Melihat ibu, pelan-pelan ketakutan Ega pudar. Pelan-pelan Ega kembali membangun mimpi. Bahkan ketika ayahnya pesimis, Ega justru tak goyah. Ega ingat, waktu itu ayahnya bilang begini :

“Oalah nduk, dulu waktu ayah masih kuat dan punya (uang), abang-abangmu disuruh sekolah susahnya mintak ampun. Sekarang ayah udah begini kamu malah mau sekolah.”

Ega mau nangis saat mendengar ucapannya. Dirinya paham, ayahnya bukannya melarang, justru sebenarnya senang, namun rasa tidak mampunya sebagai orang tua melukai hatinya sendiri.

“Ada universitas yang nawarkan program khusus ke sekolah buat siswa berprestasi, seleksinya lewat nilai raport. Kemarin aku ditawarin untuk ikut seleksi. Uang pendaftarannya pakai uang hadiah menang LKS (Lomba Ketrampilan Siswa) kemarin saja, kan kemarin kutabung. Kalau lulus seleksi, aku kuliah ya,” ucap Ega. Ayahnya hanya diam.

Menanti pengumuman seleksi dengan kondisi menjadi bahan cibiran orang, sungguh situasi tidak mengenakkan. Tiap saat Ega berdo’a, memohon agar Tuhan mengabulkan keinginannya. Ia ingin kuliah.

*

Yang dinanti-nanti pun tiba. Hasilnya, ia tidak lulus seleksi. Ega kecewa. Marah. Ternyata bukan hanya orang kampung yang tak suka ia kuliah, Tuhan pun enggan merestui. Jangan-jangan di atas sana Dia juga tengah mencibirku, sama seperti orang di kampungku, batin Ega.

Beberapa hari Ega habiskan dengan berdiam diri. Kemudian pasrah. Mungkin memang sudah takdirnya. Hari depan mungkin akan ia habiskan di kampung, menunggu dilamar, atau jadi pembantu agar bisa membantu biaya berobat ayah. Sudah lah, ia pasrah.

*

Beberapa teman ikut bimbel dan mendaftar seleksi masuk perguruan tinggi. Teman-teman dekat yang selama ini Ega ‘racuni’ untuk kuliah, gantian ‘meracuni’nya untuk ikut seleksi. Gadis itu hanya menggeleng saja. Tabungannya sudah habis untuk keperluan ini itu menjelang kelulusan sekolah. Sejak kecil Ega sudah dibiasakan menabung. Dulu pakai celengan bambu. Lalu saat SMK ia menabung di bank. Jumlahnya sebenarnya kala itu lumayan banyak, mengingat dulu perekonomian keluarga mereka lumayan baik. Tapi sejak ayahnya tidak kerja lagi, jumlahnya tak pernah bertambah. Malah berkurang. Lalu habis tak tersisah.

*

Waktu itu H-2 pendaftaran ujian masuk perguruan tinggi ditutup. Sahabat-sahabat Ega terus menelfon, mengajaknya ikut mendaftar. Apalah daya, dirinya hanya bisa membalas dengan kalimat :

Good luck ya!”

Ia mengucapkan kalimat tersebut dengan suara tertahan dan bulir air yang menggantung di sudut mata. Rasanya sangat ingin ikut, tapi kuliah hanyalah angan-angan semu bagi anak kampung yang perekonomiannya pas-pasan. Apalagi dengan kondisi orang tua yang sakit-sakitan.

Sampai jauh malam, mereka bergantian menelfon. Puncaknya ketika seorang sahabat yang sekolah di daerah Riau, malam itu berada dalam perjalanan menuju Medan untuk mendaftar ujian seleksi. Ia menelfon Ega untuk kesekian kalinya sambil terisak.

“Beneran nggak daftar?! Aku jauh-jauh dari pedalaman Riau berangkat ke Medan buat daftar, semua itu gara-gara kau. Kau yang bilang kalau kita harus kuliah, harus jadi orang kampung yang cerdas dan sukses. Masak sekarang kau yang mundur sih?! Ayolah sobat, masih ada waktu.”

Sahabatnya berucap sambil menangis. Ega pun tak mampu lagi menahan air mata. Mereka bertangis-tangisan. Namun Ega tetap tak bisa berjanji untuk datang ke Medan dan mendaftar besok.

Hingga menjelang pagi baru handphone-nya berhenti berdering. Ia duduk terdiam dan berpikir. Benarkah Tuhan tak memberi restu? Benarkah takdirnya hanya jadi anak kampung yang menjadi pembantu di kota? Siapa yang akan mengubah nasib keluarganya sementara abang-abangnya pun masih berjuang menafkahi keluarga mereka masing-masing? Dan bagaimana ia menunjukkan wajah ke orang-orang yang sudah mencemooh niatnya untuk kuliah?! Tidak, tidak! Ia tidak mau selamanya dicibir. Orang-orang di kampungnya harus melihat ia bisa sukses dengan kuliah. Lagi pula, walaupun ia gagal seleksi dari sekolah, bukankah ada ujian seleksi nasional. Artinya masih ada jalan. Artinya Tuhan bukan tidak merestui, Ia hanya ingin Ega berjuang lebih keras lagi untuk membuktikan sekuat apa tekadnya. Ya, dirinya hanya harus berjuang lebih keras lagi.

Air mata Ega kembali jatuh pagi itu menyadari kekeliruannya telah berprasangka buruk pada Tuhan. Duh Gusti, ampuni diri yang tengah berproses ini, bisik hatinya lirih

*

Matahari menampakkan diri. Ega memantapkan hati untuk mengatakan niatnya ke ibu. Di dapur, ibu tengah menyendok nasi dari periuk.

“Ibu ada simpanan uang?”

“Ada tapi nggak banyak.” ibu tak bertanya  untuk apa. Mungkin ia mendengar percakapan dan tangis Ega tadi malam.

“Aku mau ke Medan daftar kuliah.”

Ega cuma bisa berkata sampai disitu saja. Tak sanggup lagi berlisan. Takut ibunya terluka karena merasa tidak mampu.

Ibu pergi ke kamar, dan kembali dengan meletakkan dua lembar uang ratusan di atas meja makan reot mereka.

“Cuma ini yang ada, semoga cukup,” ujarnya pelan.

Mata Ega seketika berkaca-kaca. Namun ia tahan agar tak jatuh. Segera ia menyuapkan sesendok nasi ke mulut. Bergegas mandi, pamit ke ortu kemudian diantar abangnya ke stasiun KA Kisaran.

Dengan bekal 200 ribu dari ibu, 50 ribu pinjaman seorang teman, serta restu orang tua, Ega berangkat ke Medan seorang diri. Uang itu kalau dipikir-pikir hanya cukup untuk uang pendaftaran saja. Sementara ia harus tinggal di Medan selama seminggu untuk mendaftar dan ikut ujian. Harus membeli peralatan ujian. Juga biaya hidup selama di Medan. Sungguh jumlah yang sangat kurang. Tapi ia sudah meniatkan diri untuk berangkat, meski letak kampusnya dimana pun ia tidak tau. Ega tetap berangkat. Yang terbersit di pikirannya kala itu hanya satu : saya sudah bermimpi sedemikian tinggi, maka saya pun harus punya keberanian besar untuk memperjuangkan mimpi itu. Sesulit apapun, pasti ada jalan.

Sekarang, Ega bukan lagi anak kampung yang dicibir karena nekad kuliah. Tapi dielu-elukan karena dianggap sukses berkat kuliah. Ia jadi orang yang dicontohkan para orang tua di kampungnya ke anak mereka.

banknya orang sumut
Sebab tiap impian punya harga yang harus dibayar

Namun bagi Ega, yang lebih membahagiakan adalah melihat anak-anak kampung yang memiliki cita-cita setelah mendengar kisahnya. Melihat mereka semangat menabung impian, juga menyisihkan sebagian uang jajan. Sebab tiap impian punya harga yang harus dibayar.

***

“Cerita ini didukung oleh Bank Sumut”
#ayokebanksumut #banknyaorangsumut

Share:

39 komentar

  1. Benar dengan menyisihkan dan menabung menjadi bekal untuk meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mas, beruntunglah mereka yang sejak kecil sudah terbiasa menabung ya kan :)

      Hapus
  2. Baca judulnya aja, aku udah ngerasa punya koneksi sama tulisan ini. Karena kondisiku juga mirip sama ini. Aku berkaca-kaca bacanya. Punya mimpi jangan tanggung-tanggung, benar, pun harus punya keberanian buat mencapai mimpi yang tinggi itu. Aku sempat gak direstui kuliah sama orangtua dengan alasan yang sama, ekonomi. Sebab itu pas lulus SMA aku kerja dulu, buat kuliah. Dicibir itu bener banget. Diomongin, dibilang soklah segala macam. Pedih. Tapi alhamdulillah masih bisa dilewatin. Semangat! :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sini tos kita mbak :)


      Tetap semangat mbak, orang kampung wajib sukses hhehehee he

      Hapus
  3. AAAAAAAAAA INI KENAPA TIBA-TIBA MATA AKU JADI KERINGETAN AHAHAHA.

    Aku setuju sih, semua hal ada harganya. Bahkan impian. Investasi itu emang penting banget yaaa. Udah gitu kujadi sedih sudah mensia-siakan kuliah 😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hhahahaa... #sodorintisu keringetan dikit-dikit nggak apa-apa mbak :D

      Jadi pelajaran mbak, ke depan jangan disia-siain lagi :)

      Hapus
  4. Luar biasa banget semangat dan perjuangan ega untuk kuliah. Ya ampun aku terharu ih sumpah deh :'(

    BalasHapus
  5. Cieeee....ikutan jugaaaa...akhirnyaaaaa

    Akhirnya ngefiksi lagii...


    Akhirnya....akhirnya....akhirnyaaaaaa diah ikutlomba. 😁😁😁 Makan makaaaaannnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaaaiii.. Tiwi,,, ini bukan fiksi, ini kisah nyata,, NYATA hhahahhahaa..

      Hapus
  6. Dulu hanya orang kaya aja yang bisa kuliah, meskipun pinter kalau ga punya duit ya ga bisa kuliah kayak adek saya. Tapi akhirnya bisa jadi sarjana juga setelah mendapatkan posisi bagus di perusahaan.

    Kalau sekarang, hampir semua anak bisa kuliah tapi ujung2nya hanya nganggur. Ini yang kadang bikin miris dan pesimis, buat apa kuliah mahal2 toh akhirnya jadi pengangguran. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya memang banyak pula yang menuntut ilmu tinggi-tinggi tapi tidak jadi apa-apa. Semua tergantung tekad dan kemauan ya kan mbak :)

      Hapus
  7. Seperti dendam, mimpi harus dibayar. Hahay. Bagus banget mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal impiannya bukan untuk balas dendam ya mas :D

      Hapus
  8. Ya Allah...
    Perjuanganku untuk kuliah ga ada apa-apanya...

    Mbak, ini fiksi kan? 😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. True story mbak :)

      Kadang memang kita merasa perjuangan kita udah berat banget, tapi ternyata di luar sana banyak yang lebih berat lagi :)

      Hapus
  9. walaupun orang kampung saya harus pendidikan lebih lanjut itu perlu karena, untuk bekal kita di masa depan. walaupun, bingung memikirkan masalah keuangan di perkuliahan. APabila kita rajin menabung pasti masalah itu bisa terselesaikan dengan baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul sekali mas, sayangnya nggak banyak yang mikir demikian :)

      Hapus
  10. Kalo aku dulu dibilang, kan udah kerja, ngapain kuliah? :|

    Tp pas skrng dpt kerjaan yg sesuai sama impian aku, baru deh keluarga pada ngerasa kalo kuliah tuh penting.

    BalasHapus
    Balasan
    1. akhirnya mereka sadar ya mas kalau kuliah itu penting :)

      Hapus
  11. Aku juga orang kampung. Bisa kuliah di salah satu PTN di Bogor karena PMDK, dapat beasiswa untuk kuliah sampai penelitian. Meskipun sekarang belum bisa dikatakan sukses, setidaknya pernah berjuang untuk mengalahkan ketakutan akan meraih mimpi. Insya Allah semua bisa meraih mimpinya dengan konsekuensi menempuh jalan yang mungkin terjal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. salut buat mbak Nita, yang terpenting adalah kita berani berjuang untuk mimpi kita ya kan mbak :)

      Hapus
  12. Semangat terus ya. Pokoknya jangan pantang menyerah

    BalasHapus
  13. Justru yang dari kampung harus kuliah biar bisa lebih hebat, tapi jangan lupa abis kelar kuliah harus balik lagi kekampung buat memajukan daerahnya. biasanya semakin pelosok semakin hebat kuliahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, justru orang kampung harus kuliah, serap ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, lalu kembali ke kampung untuk memajukan daerah, saya setuju hal itu :)

      Hapus
  14. ketika kita punya tekad dan impian yakin lah jalannya pasti mudahh ...
    Seperti nya faiz harus belajar nulis ni sm kk diah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. harus yakin ya faiz :)
      yuuk belajar nulis bareng-bareng :)

      Hapus
  15. Walaupun orang kampung, smg nantinya malah menjadi buah bibir yang baik di kampung.. apalagi ada Bank Sumut yg mau membantu meningkatkan masyarakat di sana

    BalasHapus
  16. aku berasa jadi tokoh di cerita ini..

    ayahku meninggal 3 hari setelah pengumuman umptn

    sempat khawatir tidak bisa melanjutkan kuliah.. krn ibu bukannya wanita karier.

    alhamdulillah aku dpt beasiswa masuk UNSRI PTN di kotaku. Gratis dan beasiswa terus berlanjut dgn syarat IPK Tidak pernah turun dr angka 3 koma.

    adikku yang no 2 jg begitu, dapat beasiswa yang sama..

    intinya kalau ada kemauan pasti ada jalan.

    semoga makin banyak ega ega lainnya yang semangat untuk mencari ilmu lebih tinggi lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alm. Ayah dan ibu mbak Fika pasti banggak punya anak seperti mbak Fika dan adik mbak. semangat terus mbak, selalu ada jalan bagi yang memiliki kemauan.

      Hapus
  17. Nyatanya hidup itu perlu perjuangan keras. Menabung salah satu perjuangan juga ya kak. Apalagi kalau pas pasan, hiks. Ega, bagaimanakah kabarnya kini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Kinah, hidup yang keras ini memang perlu perjuangan. Alhamdulillah kabar Ega baik :)

      Hapus
  18. Semua orang berhak untuk sekolah setinggi apa pun yang mereka inginkan.
    Jadi inget cerita temen yang emang udah nabung buat kuliah, udah tahu bakal dapat potongan harga juga bantuan dari guru di smk-nya. Tahunya kakaknya kecelakaan, dan ibunya minta uang tabungannya dipakai buat berobat kakaknya. Temenku meluk uangnya sambil nangis-nangis bilang "mau kuliah".
    Alhamdulillah sih akhirnya temenku itu bisa kuliah setelah beberapa tahun kerja.
    Intinya sih selama ada kemauan untuk berusaha, insya Allah pasti ada jalan keluarnya.

    BalasHapus
  19. lihat perjuangan Ega, membuatku jadi bersyukur akan hidup ini, kesempatan yang orang tua berikan kepadaku, belum tentu yang lain juga mendapat kesempatan yang sama,
    betapa mahalnya pendidikan saat ini, bahkan univ negeri pun sekarang sudah memperlakukan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang ternyata di fak ekonomi saja minimal per semester sppnya saja 6 juta, aku bersyukur, masih 1 juta :(

    EGA yang semangat kuliah ya, nduk. ada beasiswa2 PPA dan BBM belum lagi beasiswa2 swasta dan dikti.

    BalasHapus
  20. Keren ceritanya :)
    Rada mirip sama bapaknya suami yg dulu hidup di kampung pedalaman, penghasilan keluarga hanya dari menangkap ikan dan cocok tanam. Hampir saja putus sekolah hanya sampai SD, namun karena bantuan dermawan dan beasiswa akhirnya bisa lulus sampai SMA, lalu dilanjutkan kuliah sambil bekerja. Nggak sia2, beliau sekarang sdh sukses, yg dulu mencibir skrg malah kagum.
    Ah... Kalau belajar dari cerita seperti ini memang kita harus punya tabungan yg cukup ya buat jaga2 :))

    BalasHapus
  21. Kata siapa anak kampung gakboleh kuliah?

    Mgkn kalau dulu aku nekat atau punya tabungan, ah sudah lah

    Ya pokoknya smangat ngejar cita2 dan jgn lupa nabung

    BalasHapus
  22. Hahhahahaha... Ternyata komenku *lagi2* gagal. Huh.

    Ko masih ada sih gap sebutan orang "kampung" justru orang dari daerah itulah cikal bakal pemimpin yang tangguh dan legowo *kali itu juga.

    Yang penting jaga semangat yah

    BalasHapus