MEMORI DANAU TOBA


cerpen memori danau toba

Memori Danau Toba - Cerpen : Sore ini basah. Untuk kesekian kalinya kurapatkan jaketku. Suara butiran air mencium atap rumah masih terdengar. Kali ini tak sederas tadi. Orang bilang ini gerimis, bukan hujan. Entahlah, aku tak tahu. Aku hanya menikmati suaranya saja sambil sesekali merapatkan jaket. Dalam sepi. Yah, sepi. Kemenangan ini terasa sepi, seperti kebahagiaan yang hambar. Jabat tangan dan ucapan selamat hanya beberapa saat saja menemani. Kini sepi kembali menjadi teman. Di luar sana orang-orang mungkin sedang menonton berita kemenangan tim Indonesia dalam perlombaan olahraga untuk kaum diffable (cacat) tingkat Asia. Indonesia berhasil menjadi juara umum. Tentu saja ini sangat membanggakan, apalagi kali ini Indonesia sebagai tuan rumah.

Drett..drett..
Handphone di saku jaketku bergetar. Segera kuraih dan menekan tombol penerima panggilan seperti yang orang ajarkan.

“Hallo”

“Hallo Wilma”, aku kenal suara renyah di seberang.

“Hallo, siapa ini?”, pura-puraku.

“Bah, mentang-mentang udah dapat dua emas satu perunggu lupa kau sama aku ya”, nada suaranya seperti merengut. Aku tertawa. Kurasakan hatiku kembali ramai seperti tahun-tahun saat kulewati waktu bersamanya. Mana mungkin aku bisa lupa suara di seberang sana. Suara yang lebih dari lima tahun ini selalu akrab di telingaku.

“Apa kabar Eross?”

“Baik Wil, congratulations ya kawan. Senang sekali aku dengar beritamu”, lagi-lagi hanya tawa yang kuberikan sebagai respon ucapannya.

“Terimakasih, ini semua juga berkat doa dan asupan semangat darimu sobat”.

“Ah perasaan kali kau kudoain”.

Kami tertawa bersama. Aku seperti tertarik mesin waktu yang membawaku ke suatu masa. Suatu tempat dimana aku selalu membawanya dalam ingatan kemanapun aku pergi. Kala itu bulan Mei, kami sedang mengikuti mata kuliah Tourismus, berkunjung ke danau terbesar di Indonesia.

“Hei Wil, kau nangis?”, buru-buru kuusap airmataku.

“Ah tidak!”.

“Apanya yang tidak? Wong pipimu udah basah gitu”

Kurasakan sebuah tangan mengusap pipiku, membuatku semakin ingin menangis. Suara gelak tawa teman-teman yang lain semakin keras seiring goyangan kapal ferry yang membawa kami dari Parapat menuju Tuk-Tuk, menyeberangi Danau Toba.

“Kenapa Wil?!”, kali ini tangannya menggenggam tangan kiriku sementara tangan kananku menggenggam erat pembatas kapal, menahan agar tubuhku tak bergetar menahan gejolak memori masa silam penuh rindu. Dan cerita itu mengalir seperti air Danau Toba yang mengalir deras ke Sungai Asahan.

“Aku teringat ayahku”.

Eross mengusap-usap pundakku.

“Waktu kecil ayah sering mengajakku ke tempat ini. Mengajariku berenang dan memancing saat senja. Danau Toba adalah tempat terindah yang pernah kulihat dan terekam jelas sebelum penglihatanku mengabur dan hilang sama sekali. Di danau ini, saat usiaku masih lima tahun. Saat itulah terakhir kali kulihat tawa lebar ayah karena kailnya dimakan ikan Pora-pora besar. Itu terakhir kalinya karena setelah itu dunia hanya berwarna hitam-putih dalam pengihatanku. Ayah masih sering mengajakku kesini. Menemaniku berenang dan memancing seperti saat semuanya masih normal. Awalnya terasa amat sulit mendapati kenyataan. Tapi ayah selalu menguatkanku. Katanya aku tak boleh menyerah menjalani hidup hanya karena Tuhan mengambil kembali penglihatanku. Aku harus tunjukkan bahwa meskipun aku cacat, aku tetap mampu berprestasi. Aku harus bisa seperti danau Toba yang memberi manfaat bagi banyak orang”, uhentikan ceritaku. Angin sore itu menyibak-nyibakkan rambutku. Eross kini mengusap-usap punggung tanganku. Kulanjutkan cerita dengan rindu yang membuncah.

“Aku tak marah saat Tuhan mengambil penglihatanku sebab ayah selalu setia menemaniku. Mengobarkan api semangat dalam dadaku. Tapi aku benar-benar terpukul ketika akhirnya enam tahun lalu ayah harus pergi. Aku benci takdirku. Kenapa ayah harus pergi? Kenapa Tuhan membiarkanku hidup dalam gelap tanpa mengirim seorang malaikat untuk menuntunku. Ia justru memanggil ayahku, malaikat hidupku”, dan senja itu basah oleh tangisku. Eross membimbingku ke peluknya. Diusapnya kepalaku.

“Wil, hidup bukan untuk diisi dengan pertanyaan yang tak mampu kita jawab sebab hidup adalah pertanyaan dan menjalaninya adalah jawabannya. Meratapi hidup hanya akan membuatmu semakin terpuruk kawan. Ayolah, keadaan tak akan berubah hanya dengan ratapan”.

Itulah salah satu kenangan tak terlupakanku dengan Eross. Mahasiswi asal Asahan yang menjadi sahabatku sejak kami sama-sama menimba ilmu di jurusan bahasa Jerman Universitas Negeri Medan. Sebenarnya bukan Eross nama aslinya. Tapi aku suka memanggilnya dengan nama itu. Itu karena ia sangat mengidolakan Eross, gitaris grup band asal Jogja, Sheila On 7.

Ia bukan mahasiswa yang eksis di jurusan kami. Bahkan aku bisa katakan kalau ia kalah terkenal dariku (tentu saja aku begitu terkenal karena aku satu-satunya mahasiswa tunanetra di jurusanku). Kawan-kawan yang lain bilang kalau Eross sangat cuek dengan sekeliling. Itu sebabnya banyak yang tak mengenalnya. Namun denganku ia sangat care dan selalu ramah. Dari segi fisik, Eross memiliki wajah manis. Kulitnya coklat dan tingginya sekitar 160 cm (ini juga kata kawan-kawan kami sebab aku tak bisa melihatnya). Rambutnya lurus sebahu. Aku tahu hal itu karena saat dia berkunjung ke kosku aku pernah memintanya melepas jilbabnya karena aku ingin meraba rambutnya. Lurus dan halus.

Aku tak tahu apa motivasinya untuk menolongku. Yang pasti ia selalu ada untukku. Membacakan semua materi pelajaran untuk kutuliskan dalam huruf Braille. Mengantar-jemputku. Membantuku mengerjakan tugas. Bahkan, ia pernah mengantarku ke yayasanku di Tanjung Morawa yang isinya adalah anak-anak tunanetra.

“Wil, kau melamun??”

Aku tersentak dari lamunan memori masa silam. Aku masih terhubung sambungan telepon dengan Eross rupanya.

“Eh, Ross mm.. tidak. Aku hanya berpikir saat ini di Medan cuacanya gimana ya? Soalnya di Solo dingin”, bohongku.

“Di sini gerimis”

“Oya, nggak beda jauh dong dengan disini. Disini hujan baru saja reda, tapi masih gerimis dan dingin”

“Hmm apa perlu aku kirimkan jaket dari Medan??”

“Ah kau ini. Tak perlu lah. Kau menelfonku saja sudah membuat hatiku hangat”, jujurku, disambut gelak tawa di seberang.

“Eh Wil, sudah dulu ya. Aku harus ngetik berita. Nanti aku sambung lagi. Oya, sekali lagi selamat ya kawan. Aku bangga padamu, ayahmu juga pasti bangga. Bahkan seluruh rakyat Indonesia pasti bangga atas prestasimu”.

“Yap.. sama-sama”

“Eh satu lagi, kau tau aku sedang di mana?”

“Di mana?”

“Danau Toba”

Klik.
Telepon terputus. Aku kembali ditawan sepi dan kenangan. Danau Toba, kalimat terakhir Eross terngiang-ngiang di telingaku. Ah, Danau Toba. Lagi-lagi rindu menyeruak masuk tanpa permisi. Danau Toba, tempat segala rindu dan kenangan berhargaku tercipta. Mengingat Danau Toba sama saja mengingat dua sosok penting dalam hidupku. Ayah dan Eross. Ayah, orang yang telah membakar semangatku untuk terus hidup. Sedangkan Eross adalah orang yang selalu menjaga kobaran semangat itu tetap menyala sepeninggal ayah. Seketika kornea-ku basah oleh airmata rindu yang menganak sungai di pipi. Kembali kurapatkan jaket dan bercumbu dengan rintik gerimis yang seolah mengajak berdialog. Dialog yang dulu sering singgah di telingaku.

“Jadilah seperti Danau Toba nak, keberadaannya senantiasa memberi  banyak manfaat pada umat”
“Kau tau Wil, kenapa ayahmu ingin kau meniru Danau Toba? Karena Danau Toba ada bersebab letusan gunung Toba beribu-ribu tahun silam. Ia ada karena sebuah luapan kemarahan namun tetap berusaha memberikan manfaat pada umat manusia. Kau sama seperti Danau Toba. Aku tau kau marah karena penglihatanmu hilang dan ayahmu harus pergi. Tapi kau harus tetap hidup. Hidup yang bermanfaat. Hidup tanpa keluhan”.

Aku tersenyum di antara isak tangis rindu. Membayangkan wajah Danau Toba dan Ayah yang masih tersimpan dalam memori otakku. Juga wajah manis Eross yang kureka-reka rupanya.

***
Medan, 2011-2012

NB : Dimuat di Analisa, Rabu 20 Mei 2015

Share:

0 komentar