JAM DINDING OH JAM DINDING

jam oh jam
jam dinding oh jam dinding

Jam Dinding Oh Jam Dinding : Pukul 23:03 saat aku mulai nulis ini. Bingung mau nulis apa untuk postingan hari. Secara ini kan hari Senin. Artinya harus ada postingan baru di blog ini. Karena seperti yang udah aku bilang beberapa waktu lalu kalau lagi pengen ngebiasain posting blog tiap hari Senin dan Kamis.


Eh iya, ini pertama kali aku nulis pake kata ganti “aku” sejak memutuskannya hari Kamis lalu. Hola gaes, ini aku Perempuan November ehehheheee. Rasanya agak aneh ya setelah biasanya nulis pake kata ganti “saya”. Wajar lah ya, namanya masih awal-awal, ntar juga pasti terbiasa.


Mau nulis tentang apa aku hari ini? Sejujurnya sih nggak tau ya. Soalnya waktunya udah mepet. Udah ngantuk juga. Entah sudah berapa kali nguap dari tadi. Tapi karena mencoba konsisten, ya tetap ngadep laptop juga.


Sebenarnya banyak yang ingin diceritakan tentang hari ini dan beberapa hari kemarin. Tapi ceritanya panjang dan udah pasti nggak keburu kalau ditulis sekarang. Jadi mending buat postingan selanjutnya aja.


Terus sekarang nulis tentang apa? Mmm,,, nggak tau hahahhaa


Tapi di tengah keheningan malam ini ketika aku tengah menerawang menatap langit-langit kamar, suara detak jam di dinding kamar terasa begitu kuat, teg..teg..teg! begitu kira-kira bunyinya. Mungkin karena sudah mau tengah malam dan suasanya sunyi jadi detaknya terasa begitu kentara.


Jam dinding bulat kecil berwarna kuning itu belum ada seminggu terpasang di kamar ini. Jam bertuliskan HokBen di tengah atas itu adalah salah satu isi goodie bag saat diundang pada pembukaan gerai HokBen di Medan beberapa waktu lalu.


Mengenai bentuknya, jujur aku suka. Tidak terlalu kecil, juga tidak besar. Warnanya kuning, serasi dengan warna dinding kamarku. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan.


Suara detak jam itu membawa warna baru dalam kamar ini. Membawaku pada sebuah kenyataan bahwa sudah sekian lama aku tak mendengar suara detak jam dalam kehidupan sehari-hari. Iya, jam seperti barang langkah di rumah kontrakanku, bahkan di beberapa rumah kontrakan sebelumnya.


Saat masih tinggal di kampung dulu, rasa-rasanya nggak ada rumah yang nggak ada jam dindingnya. Mau sesederhana apapun rumah yang pernah kumasuki, pasti selalu ada jam menggantung di dinding. Setidaknya ada satu buah jam dinding dalam satu rumah. Walah banyak juga kujumpai rumah yang memiliki beberapa jam dinding yang dipasang di ruang terpisah.


Sampai sekarang di rumah-rumah di kampungku, pasti selalu ada jam dinding. Tapi beberapa rumah di kota yang pernah kudatangi, ada juga yang nggak punya jam dinding. Tadi saat bertandang ke rumah sepupu yang juga tinggal di Medan, juga nggak ada jam dindingnya.


Seingatku awal-awal aku mulai terbiasa tanpa jam dinding adalah ketika mulai ngekos dan punya handphone. Kebiasaan liat jam dari handphone ini juga bikin aku nggak begitu terbiasa pakai jam tangan.


Pernah suatu ketika beli jam tangan karena temen jualan jam, eh gitu pengen liat jam, bukannya liat ke pergelangan tangan, malah ambil hape di tas dan liat jamnya. Jam ditangan berasa cuma aksesoris semata, sekedar gaya-gayaan. Fungsinya sebagai petunjuk waktu pun terabaikan.


Begitu pun jam dinding. Sampai hari ini aku masih terbiasa lihat hape saat ingin tau jam berapa. Padahal yo jelas itu jam bunyi detaknya terdengar nyata, kok ya asik nyariin hape. Gitu juga kalau bangun tidur. Sambil mata merem meraba-raba nyari hape buat liat jam, huhuhuhuuu kasian jam barunya nggak dianggap yak an.


Kalian gimana, ada yang seperti aku yang mulai tak terbiasa dengan jam dinding?

Share:

0 komentar