AKU DAN KAMERA PONSEL : MENGABADIKAN MOMEN SEKALIGUS BERBAGI INSPIRASI


Aku dan Kamera Ponsel : Mengabadikan Momen Sekaligus Berbagi Inspirasi – Kalau ada yang tanya dari mana hobi jalan-jalan dan jeprat-jepret saya diturunkan, jawaban saya adalah dari ayah. Hal ini sebenarnya sudah pernah saya ceritakan di postingan saya yang berjudul Waktu Bersama Ayah yang saya posting beberapa saat lalu.

Ayah saya sering bepergian untuk urusan pekerjaan. Kadang ia pergi cukup lama hingga saya hanya bisa memandangi fotonya kala rindu mendera. Tau sendiri lah, namanya anak kecil pasti pengennya bisa selalu dekat dengan orang tuanya.

Momen-momen ayah pulang ke rumah adalah momen paling membahagiakan. Tidak hanya untuk saya, tapi untuk kami sekeluarga. Ayah memang sosok yang paling dirindukan dan dinanti kepulangannya di keluarga kami.

Selain senang karena ayah kembali pulang, hal lain yang menambah kebahagiaan kami adalah oleh-oleh yang ayah bawa. Biasanya ayah membawa oleh-oleh berupa barang khas daerah yang ia kunjungi. Ada yang berupa pajangan untuk digantung di dinding rumah, tas, baju, dan lain sebagainya. Untuk saya ayah pernah memberikan oleh-oleh berupa ikat rambut etnik, pena bambu, tas etnik, topi, kaca mata, dan beberapa benda lainnya.

Yang tak pernah absen dibawa ayah adalah album foto perjalannya. Ini sebenarnya oleh-oleh yang paling ditunggu. Foto-foto selama ayah bepergian, biasanya saat pulang ke rumah, ia akan mencetaknya terlebih dahulu dari tustel (kamera jaman dulu, menggunakan roll film) miliknya, kemudian membawanya pulang dan kami akan saling berebut untuk menjadi yang pertama yang melihatnya.
ayah
Ayah tak pernah lupa mendokumentasikan perjalanannya dalam bentuk foto
Sebenarnya kala itu kami hidup sangat sederhana dengan rumah berbahan papan di sebuah kampung yang cukup jauh di pedalaman kabupaten Asahan. Tustel sebenarnya adalah barang mewah kala itu. orang-orang mungkin melihat tustel bukanlah benda yang penting untuk dimiliki di tengah ekonomi keluarga kami yang sederhana. Saya pun kurang tau apa pertimbangan ayah membeli tustel. Mungkin ia tau, foto-foto itu adalah cara untuk mengabadikan momen dan kenangan.

foto ayah
Tulisan Lombok di baju ayah cukup membuat saya penasaran dengan tempat itu.
Lewat album foto perjalanan ayah, saya jadi melihat betapa dunia ini luas. Juga indah. lewat foto-foto ayah, saya jadi suka mengkhayal suatu saat jika besar kelak akan mengunjungi tempat-tempat itu. Saya ingin mengunjungi tempat-tempat yang pernah dikunjungi ayah saya. Ingin menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri secara langsung tempat-tempat indah yang pernah ayah saya kunjungi. Saya tidak ingin hidup saya hanya sebatas kampung yang bahkan untuk sekolah saja harus ke kampung tetangga.

my father
Anak kampung yang tak pernah melihat laut secara langsung, melihat foto ayah seperti ini membuat saya berkata dalam hati : kalau besar nanti, aku mau mengunjungi tempat-tempat yang ada lautnya.

And now, inilah saya. Perempuan kampung dari pedalaman Asahan yang dulu nekat berangkat ke Medan untuk kuliah. Perempuan yang pernah bela-belain pinjam uang cuma supaya bisa traveling *hal gila yang nggak perlu ditiru ya*. Yang pernah bela-belain kerja jadi sales kartu perdana seusai jam kuliah buat nabung beli kamera digital. Semua itu karena sebuah tustel (kamera) dan foto-foto yang dihasilkannya. Foto-foto perjalanan ayah saya yang saya lihat semasa kecil dan menginspirasi saya untuk melangkah ke banyak tempat dan mengabadikan berbagai momen lewat kamera.

wisata denpasar
1 tempat, beda lokasi foto. Atas : ayah saya dan teman-temannya. Bawah : saya sendiri. Btw foto saya kok kayak tempelan ya, padahal itu asli loh :D

Nyatanya, kamera jadul milik ayah tidak hanya menghasilkan foto-foto yang menjadikan suatu momen seakan abadi. Tetapi juga menginspirasi saya. Karena inspirasi dan keinginan melihat dunia yang lebih luas lagi lah yang membuat saya termotivasi untuk kuliah. Karena kamera dan foto-foto perjalanan ayah, saya menjadi satu-satunya sarjana di keluarga kami. Setidaknya untuk saat ini, saya satu-satunya anak ayah yang pernah menginjak pulau lain selain Sumatera. Satu-satunya yang punya paspor dan pernah keluar negeri. Itu semua berawal dari kamera dan foto yang dihasilkannya.

ayah dan anak
Atas : ayah saya. Bawah : saya saat menyeberang ke Pulau Weh
inspirasi
Thanks Dad, udah menginspirasi anakmu ini untuk berani berjalan lebih jauh.

Sekarang, seiring perkembangan jaman, kamera sudah tak seribet dulu lagi. Tak harus menunggu lama untuk bisa melihat hasil foto. Tak perlu mengintip dari cela kecil ketika memotret. Era digital membuat segalanya jadi lebih praktis. Tak hanya kehadiran kamera digital, ponsel pun saat ini telah dilengkapi dengan fitur kamera yang canggih yang memungkinkan orang-orang untuk mengambil foto dimana saja dan kapan saja.

air terjun Sipiso-piso
Mengabadikan momen menggunakan kamera ponsel saat mengunjungi Air Terjun Sipiso-Piso 
Hobi jeprat-jepret saya pun tersalurkan dengan adanya kamera di ponsel. Kamera digital yang saya miliki jadi lebih sering nganggur di rumah. Saya lebih suka mengandalkan kamera ponsel, toh saya motret hanya sekedar hobi. Sekedar mengabadikan momen. Bukan untuk pekerjaan. Lagi pula menggunakan kamera ponsel lebih praktis ketimbang bawa-bawa kamera digital. Hasilnya juga bisa langsung di-share ke sosial media yang kita miliki. Nggak perlu pakai acara dipindahin ke laptop atau PC dulu.

Kebiasaan mencetak foto sudah mulai ditinggalkan orang karena lebih praktis melihat di layar ponsel. Tapi saya justru masih sering melakukannya. Tiap pulang kampung, salah satu hal yang tak lupa saya lakukan adalah mencetak foto-foto saya. Juga foto keluarga (orang tua, abang, kakak ipar, dan keponakan). Ponakan-ponakan saya akan saling berebut untuk jadi yang pertama yang melihat, sama seperti saya dulu bersama abang-abang saya ketika ayah mengeluarkan album foto terbarunya.

foto perjalanan
Beberapa foto yang saya cetak sebelum pulang kampung
Kebiasaan jeprat-jepret saya ternyata juga ditiru ponakan-ponakan saya. Praktis saat pulang ke rumah saya jarang memegang ponsel saya karena sudah pasti akan ‘dijajah’ ponakan-ponakan saya. Biasanya yang mereka lakukan adalah melihat album foto, video, dan memfoto sesuatu. Ibu saya sering mengingatkan saya agar tidak membebaskan mereka memainkan ponsel saya, takutnya rusak atau terjatuh. Tapi saya memilih membiarkan mereka dan mengawasi dari jauh saja. Palingan awalnya saya ajari cara memotret dan memperingatkan agar mereka menjaga ponsel dengan baik.

Baca Juga : Bunga-Bunga Indah dalam Jepretan Dinda, Si Fotographer Cilik

Kenapa saya membebaskan ponakan bermain dengan ponsel yang tidak murah? Kenapa juga saya repot-repot merogoh kocek untuk mencetak foto-foto perjalanan saya? Itu semua karena saya ingin berbagi inspirasi. Sama seperti ayah saya menginspirasi saya. Lewat foto-foto itu, saya ingin keponakan saya bisa melihat betapa bumi yang mereka tempati ini menawarkan banyak hal. Bahwa mereka juga bisa menjadi apapun atau pergi kemanapun selagi mereka punya kemauan yang kuat.

ponakan
Yang kiri adalah foto kaki Dinda, ponakan saya yang terinspirasi dari foto kaki di ponsel saya

Karena setelah besar saya akhirnya sadar, traveling tak sekedar mengunjungi tempat-tempat indah, tapi juga mendapatkan berbagai pengalaman berharga yang menjadikan kita pribadi yang lebih luwes dalam bergaul, terbuka dalam berpikir, dan bertoleransi terhadap perbedaan. Saya ingin keponakan-keponakan saya juga menyadarinya kelak.

awsome rafting
Lewat foto ini saya mencoba menjelaskan ke keponakan saya bahwa kita harus melawan rasa takut dalam diri kita.
Tak semua foto saya cetak. Hanya beberapa yang menurut saya mewakili. Sisahnya ada di ponsel. Biasanya para keponakan saya akan berceloteh berbagai hal. Mulai dari menanyakan lokasi foto, hingga protes kenapa mereka tak diajak.

tapaktuan
Mungkin kalau dulu ayah saya tak mencetak fotonya kala berdiri di karang di pinggir laut, saya pun tak akan kepikiran untuk mengunjungi tempat-tempat menakjubkan seperti dalam foto ini :)

Lewat foto-foto yang saya cetak dan tersimpan di memori ponsel pula lah akhirnya kesukaan saya jalan-jalan tertular ke anggota keluarga yang lain. Tidak hanya keponakan, tetapi juga ibu dan abang saya. Alhasil tiap momen berkumpul keluarga seperti lebaran, tahun baru, dan libur sekolah, salah satu yang dibicarakan adalah destinasi jalan-jalan yang hendak dituju. Seringnya sih di sekitaran kota kabupaten saja. Tapi itupun sudah cukup membuat kebersamaan menjadi menyenangkan dan berkesan.

family time
Saat berlibur ke Kebun Binatang Siantar

Di sela-sela kebersamaan itu, ada perbincangan-perbincangan yang kalau diingat membuat saya suka senyum-senyum sendiri. Misalnya saja celotehan keponakan saya, Rufa :

“Nde.. oo Nde, adekku punya tahi lalat juga loh di kaki. Sama kayak Unde. Kata bundaku nanti adek besarnya sama kayak Unde, tukang jalan-jalan.”

cousin
Adeknya Rufa yang katanya kalau besar bakal jadi tukang jalan-jalan seperti saya
“Nde, nanti taun baru pas kami liburan sekolah kami kan ke tempat nenek lagi, kita jalan-jalan ya Nde ke tempat bermain anak-anak. Nanti masukkan majalah lagi ya Nde.” (Saya pernah menggunakan foto saat kami liburan untuk foto pendukung artikel wisata dan terbit di salah satu majalah).

 “Aku pengen jadi dokter Nde. Kalau nggak jadi dokter, aku pengen jadi pilot biar bisa jalan-jalan kayak Unde. Tapi sebenarnya aku pengen juga jadi polisi, cuma opung (kakek) gak suka kalau aku jadi polisi, mungkin karena gigiku gufis. Jadi aku mau jadi pilot aja. Kalau nggak jadi pilot juga, aku jualan jeruk aja lah Nde. Eh tapi aku pengen jadi kayak Unde, bisa jalan-jalan.”


Saya ngekeh dengarnya, entah kapan opungnya (almarhum ayah saya) bilang nggak suka dia jadi polisi, dan herannya dia mikirnya opungnya nggak suka karena giginya gufis (rusak, bolong, ompong). Yang paling bikin ngekeh waktu dia bilang jadi penjual jeruk, entah sejak kapan jadi penjual jeruk jadi cita-cita. Tapi saya tetap mengaminkan cita-citanya, siapa tau jual jeruknya berton-ton sampai ke luar negeri, alias pengekspor jeruk. Kan lumayan bisa meningkatkan prestige jeruk Indonesia di mata dunia :D

Lain Rufa, lain pula Dinda, keponakan saya perempuan. Dia paling sering tanya-tanya lokasi tempat saya berfoto, nama makanan ataupun minuman yang saya foto, lalu berujung pada protes kenapa dirinya tak diajak saat saya mengunjungi tempat itu.

“Unde jalan-jalan ke pulau nggak ngajak-ngajak.”

wisata sumut
Foto yang mengundang protes : Unde jalan-jalan ke pulau nggak ngajak-ngajak, wkwkwkkw

“Haduuh.. gara-gara liat foto makanan di handphone Unde jadi kepingin makan aku.”

“Nek.. tengoklah nek, banyak kali makanannya.” (sambil menyodorkan foto makanan di ponsel saya ke ibu saya).

makanan indonesia
Nah kalau ini foto yang bikin Dinda jadi kepengen makan :D
Itulah beberapa celotehan Dinda. Cita-citanya katanya kalau nggak jadi guru ya jadi koki, makanya dia sering komentari foto-foto makanan di ponsel saya.

Kalau ibu saya beda lagi, beliau sekarang jadi suka bicarain tempat wisata. Jika ada tempat wisata yang baru dikunjunginya di sekitaran kabupaten Asahan, dia bakal semangat cerita dan menyarankan saya untuk mengunjunginya juga.

Hingga saat ini, saya belum bisa mengajak keluarga saya liburan ke luar pulau. Masih di sekitaran Sumut saja. Tapi dengan foto-foto hasil jepretan kamera ponsel saya, saya berusaha untuk berbagi ke mereka. Saya berusaha menunjukkan bahwa ada banyak hal di luar sana yang menunggu untuk kita hampiri. Foto-foto di kamera ponsel saya yang tak melulu berisikan foto perjalanan, tetapi juga kegiatan saya sehari-hari : berkumpul bersama teman, mengikuti sebuah seminar, atau bahkan saat sedang lari sore. Saya bebaskan keponakan dan keluarga saya melihat-lihat galeri foto di ponsel saya. Siapa tau, pada satu atau dua foto disana, Tuhan meniupkan inspirasi untuk mereka. Inspirasi untuk hal-hal baik, pilihan-pilihan baik dari mereka, sekarang, dan di masa depan.

bah butong sidamanik
Dinda, Rufa, kakak ipar, ibu, dan abang saya saat kami jalan-jalan ke Kebun Teh Sidamanik.

anak gunung
Tak hanya saat narsis seorang diri, foto-foto bersama teman pun sering saya cetak saat hendak pulang kampung

hang out with friends
Foto-foto menggunakan kamera ponsel saat hang out bersama sahabat juga saya bagi ke ponakan dan keluarga, siapa tau dari salah satu foto yang saya bagi, ada inspirasi yang mereka dapat.

Kamera ponsel saya memang tak secanggih kamera pada ponsel Zenfone 2 Laser ZE550KL, tapi begitupun saya tetap bersyukur memilikinya meski kamera sekundernya (kamera depan) kualitasnya kurang bagus. Selama ini, kamera ponsel saya sudah menemani hari-hari dan menjadi alat untuk menyalurkan hobi motret saya.

Kamera ponsel saya belum secanggih kamera Zenfone 2 Laser, tapi begitupun tetap disyukuri. Moga-moga ke depan ada rejeki dapat Zenfone 2 Laser (aamiin).

Ini sekelumit cerita Aku dan Kamera Ponsel : Mengabadikan Momen Sekaligus Berbagi Inspirasi. Apa cerita kalian?!

‘Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com

Share:

23 komentar

  1. Foto-foto memang jadi saksi sejarah, merekam semua momen penting dalam hidup manusia. Di era digital kayak sekarang, kita malah makin dimudahkan ya Di. Gak perlu beli rol film dulu. Trus kalau dijepret hasilnya bisa langsung dilihat, bahkan di edit. Hehehe. Ah, pokoknya cintalah sama kamera ! Karena kenangan itu sangat berharga. Btw aku baru lihat foto ayah Diah di sini. Keliatannya gagah orangnya ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak.berjasa kali orang-orang yang pertama kali menciptakan kamera ini. juga mereka-mereka yang berkreasi untuk perkembangan teknologi hingga kamera bisa sekeren sekarang. dengan kamera, kenangan seakan menjadi abadi, menjadi saksi sejarah untuk kita-kita. apalagi jika orang bersangkutan telah tiada. kayak Diah sekarang kalau pulang salah satu aktifitas yang sering dilakukan ya liatin album foto almarhum ayah. seenggaknya kangennya sedikit terobati dengan melihat fotonya.

      memang baru ini Diah unggah foto ayah kak, karena kebetulan memang ceritanya berhubungan erat dengan ayah :D

      Hapus
  2. Foto-foto memang jadi saksi sejarah, merekam semua momen penting dalam hidup manusia. Di era digital kayak sekarang, kita malah makin dimudahkan ya Di. Gak perlu beli rol film dulu. Trus kalau dijepret hasilnya bisa langsung dilihat, bahkan di edit. Hehehe. Ah, pokoknya cintalah sama kamera ! Karena kenangan itu sangat berharga. Btw aku baru lihat foto ayah Diah di sini. Keliatannya gagah orangnya ya.

    BalasHapus
  3. Cerita dan Foto memang abadi dalam kenangan. Saya sangat tersentuh dengan kedekatan mbak diah dengan keluarga, terutama dengan bapak. Nice share.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. namanya keluarga ya pasti dekat mbak :) mbak Ayu pasti juga dekat kan dengan keluarga, suka foto-foto juga nggak? :D

      Hapus
  4. Senangnya jalan2 dan didokumntasikan... Memori Visual yang tak lekang oleh waktu. Walau fotonya hilang, memori tetap terkenang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, jalan-jalan dan foto-foto, dua hal yang menyenangkan bagi saya dan keluarga :)

      Hapus
  5. memang saat kita abadikan banyak momen dengan kamera , kita akan bisa melihatnya lagi untuk kenangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak, kamera membuat kenangan seakan abadi. kadang kita lupa suatu momen, tapi karena melihat foto-fotonya, jadi teringat kembali.

      Hapus
  6. momen momen sama ayah emang gak pernah bisa terlupakan ya mba, apalagi kalo beliau udah kembali ke pangkuan-Nya... baru sangat terasa waktu begitu cepat berlalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mas, momen bersama kedua orang tua memang tak akan terlupakan. bahkan jika mereka telah tiada, segala kenangan tetap tertinggal diingatan.

      Hapus
  7. Momento bgt kak. Pose ayah masa jadul sama pose kakka zaman skrg di lokasi yg sama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Nes. mungkin karena aku begitu terinspirasi olehnya hingga inginnya menapaki tempat-tempat yang pernah ayahku jejaki semasa hidupnya :)

      Hapus
  8. saya malah hampir semua ga dicetak fotonya mba, soalnya nahal hehe dan gampang rusak. saya simpan di facebook dengan setting private :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang jadi tambah pengeluaran kalau dicetak mbak. tapi karena ponakanku masih kecil dan keluargaku tinggal di kampung *mereka nggak punya sosmed* jadinya aku tetap mencetaknya :)

      Hapus
  9. Wah kita sama, mbak Diah. Saya juga masih suka nyetak foto, gak cuman fi simpan di ponsel/laptop doang. Soalnya Kalo dicetak itu lebih 'hidup'.

    Mengabadikan momen itu memang penting. Saya juga agak nyesel, dulu pas saya kecil, orang tua jarang motoin saya. So, cuman ada dikit deh foto masa kecil saya. Haha.

    Btw, Itu foto keponakan yang motoin sendal, gokil abis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. rasanya lebih berkesan ya mas kalau dicetak. walaupun memang hasil cetak foto saat ini masih kalah awet dibanding hasil cetak jaman roll film dulu ya mas :)

      sekarang puas-puasin foto keluarga dan anak mas, supaya nanti nggak nyesel karena fotonya cuma dikit :)

      iya itu keponakan aku jadi ikut-ikutan karena ngeliat foto kakiku di ponselku. ada beberapa sih dia fotoin kakinya sendiri gitu, cuma itu aja yang aku posting disini untuk mewakili kegokilannya :D

      Hapus
  10. Beruntungnya zaman sekarang ada kamera ponsel, segala momen gampang direkam :) Goodluck :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak, thanks good banget buat yang udah punya ide gabungan ponsel dan kamera :)

      thank you mbak Ida, goodluck juga buat mbak :D

      Hapus
  11. Jadi inget ayah yg blum prnah pulang sama skali :3

    Dengan nunjukin sbuah poto prjalanan kita ke keluarga itu, menurutku sesuatu banget loh mbak. beneran. entah ada rasa tersendiri. ceilehh

    BalasHapus
    Balasan
    1. loh ayahnya kemana mbak, kok belum pernah pulang sama sekali?

      iya mbak, terinspirasi dari ayah yang suka cetak foto, aku jadi ikut-ikutan suka cetak foto buat keluarga di kampung :)

      Hapus
  12. aku juga paling suka kak mengabadikan moment di hp, laptopku penuh gegara isinya foto smua..hahhaa mulai dari punya hp nokia 6120c sampe yang android xiomi saat ini...hahaha moment paing berharga saat bersama keluarga :)

    BalasHapus
  13. Terima kasih sudah ikutan GA Aku dan #KameraPonsel. Good luck.

    BalasHapus